Turki : Kota Tua Bursa Yang Kaya Akan Sejarah
Perjalanan Melawan Aerophobia, Ketakutan Luar Biasa untuk Naik Pesawat
“Saya tidak pernah percaya besi
bisa terbang.”
Akhirnya kalimat pamungkas itu pun
keluar dari mulutnya, bukan sedang bercanda tapi dia serius bahkan nada
suaranya mengandung sedikit amarah. Meski
begitu, ucapannya tetap disambut tawa membahana seantero ruang berkubikel itu.
Bos baik budi tersebut tak jadi meluapkan amarah, tapi ikut tertawa menertawai
dirinya sendiri. Sebut saja namanya pak
Budi, atasan saya di kantor. Beliau seorang
penderita aerophobia, atau yang dikenal juga dengan nama aviophobia, semacam phobia atau
ketakutan untuk naik pesawat terbang. Karena ‘penyakit’ nya ini, beliau
beberapa kali menolak tugas ke lapangan. Padahal tupoksi kerjaan kami
jelas; ‘jalan-jalan’. Kami berada dalam
satu divisi yang sama yaitu bagian Monitoring dan Evaluasi. Singkatnya, kerjaan
kami yah ke lapangan, jika hanya duduk manis di belakang meja bukan pengawasan lagi
namanya.
Saat itu, saya nekat menyodorkan
tiket pesawat kepadanya, meski sebenarnya tiket tersebut belum diisued hanya
berupa dummy tiket, tujuannya untuk meluluhkan hatinya. Selama ini beliau tak
bergeming tapi tanpa alasan jelas. Kini dengan tegas dia menyampaikan satu
kalimat yang cukup membuat saya terhenyak dan lemas. Sepertinya, saya harus
kembali menemaninya ke lapangan dengan menggunakan transportasi darat ke ujung
timur pulau Jawa ini, perjalanan berjam-jam yang sejatinya bisa ditempuh hanya satu
jam dari Jakarta. Membayangkan nasib saya yang akan berlelah-lelah di jalan,
tak seberapa dibandingkan betapa panjangnya lelah saya ke depannya jika beliau
tak sembuh-sembuh.
Namun sejujurnya, saat saya menertawai
beliau, saya sebenarnya tengah menertawai diri saya sendiri. Dulu, saya pernah
berdiri di deretan ‘penderita’ aerophobia itu. Mungkin terlalu biasa jika beberapa
orang mengalami rasa cemas sebelum terbang. Namun, pada seseorang dengan
aerophobia, rasa cemas ini merupakan permasalahan serius. Memang tak
separah pak Budi, karena saya masih memberanikan diri naik pesawat -sebagai
bawahan tentu saya tak punya banyak hak suara untuk menolak pekerjaan-. Meski keberanian
ini diikuti banyak drama sebelumnya. Saya bisa tidak tidur semalaman, gelisah, panic attack, atau tiba-tiba mengalami
gangguan pencernaan, langsung mual begitu masuk perut pesawat, mulut saya
komat-kamit merapal doa sepanjang perjalanan dan saya bisa bertahan tetap melek
sepanjang perjalanan sejauh apapun perjalanannya. Alhasil, saya akan mendarat
dalam kondisi tungkai yang lemah seperti tak bertulang.
Bertahun-tahun saya memelihara
ketakutan itu sampai tiba pada satu titik.
Saya harus bisa sembuh. Pekerjaan bisa membunuh saya jika tidak juga pulih
karena diharuskannya sering-sering memantau pekerjaan di lapangan yang notabene
harus ketemu pesawat lagi, pesawat lagi.
Saya pun mencari tahu
sebanyak-banyaknya melalui linimasa mengapa fobia
ini bisa terjadi? Menurut Todd Farchione, Direktur Intensive Treatment Program
for Panic Disorder and Specific Phobias di Boston University, fobia tersebut terjadi karena kurangnya
kontrol yang mereka miliki ketika berada dalam pesawat, ketika pintu pesawat
tertutup, mereka merasa ‘terjebak’ di dalamnya. Mereka tidak dapat keluar dari
sana dan itulah yang membuat ketakutan.
Secara naluri manusia akan bergerak
untuk menyelamatkan diri jika situasi buruk terjadi, berbeda ketika berada
dalam pesawat, kita hanya bisa pasrah dan tidak bisa kabur jika terjadi situasi
buruk. Menggantungkan hidup pada satu orang, yaitu pilot, takut pada ketinggian
dan kecelakaan, serta tidak memahami bagaimana proses penerbangan, juga
memainkan peran pada aviophobia.
Kemudian sampailah pada suatu masa,
ketika saya membaca status teman di Facebook yang mengunggah dirinya sedang berswa
foto di depan pesawat. Statusnya
kira-kira begini, “Pesawat amannya di darat, tapi dia diciptakan untuk
terbang.” Sederhana, tapi cukup menohok saya. Saya harus menerima takdir
mengapa pesawat itu diciptakan, saya harus bisa menaklukkan ketakutan saya
bagaimana pun caranya.

Hadapi!
Berkali-kali saran itu,
menguing-nguing di kepala saya. Saya pun paham, semakin menghindar semakin
ketakutan itu menyerang saya. Tapi bagaimana caranya. Teori tak pernah seindah
prakteknya. Saya masih saja menghadapi serangan panic begitu menginjakkan kaki
di airport.
Hal pertama yang saya harus lakukan
adalah saya harus mengenali ‘musuh’ saya
dengan baik. Tak kenal maka tak sayang. Tak ayal, saya mulai berburu referensi
tentang pesawat. Saya berubah menjadi pribadi yang seperti penggila pesawat,
apapun literature tentang pesawat, saya kumpulkan. Mulai dari buku tentang
aerodinamika, cara kerja pesawat, hingga ke buku antologi cerita cabin crew pun
saya lahap. Pelan-pelan saya mulai merasa terbebas, simpul-simpul ketakutan itu
terlerai sedikit demi sedikit, yang paling menenangkan adalah di salah satu
forum diskusi yang saya ikuti di internet -membernya adalah rombongan para
penakut seperti saya-namun yang menarik adalah kehadiran salah seorang teknisi
pesawat. Bukannya memaparkan teori njelimet
tentang how to, tapi bagaimana
menghadapi ketakutan itu dengan santuy
dan lucu. Orang inilah yang selalu melepaskan kita dengan dadah-dadah nya
begitu pesawat mau lepas landas, orang inilah yang memastikan kalau pesawat
sudah oke dan laik terbang, dengan mengangkat kedua jempolnya pada pilot.
“Kalian pikir kerjaan kami gak
becus? Sehingga pesawat yang kalian tumpangi akan jatuh terjerembab di bumi,
coba buka flight radar di aplikasi kalian, betapa banyaknya pesawat hilir mudik
tiap detiknya, dan semua baik-baik saja. Kalaupun ada yang jatuh, hampir
dipastikan 90 % adalah human error, bukan karena pesawatnya.” Seketika kami
merasa dimarahi seforum itu.
Berapa kali mendengar hal itu?
Sering! Tapi menerimanya dari orang yang terlibat langsung sungguh menenangkan,
dia juga secara jenaka memberikan jampi-jampi sebelum terbang. Dan itu cukup
sakti, seperti ini kira-kira.
Sebelum kalian melangkah masuk
pintu pesawat, tepuk-tepuk dinding pesawat, terus bisikin tapi dalam hati saja.
“Hai burung besar, baik-baik yah di atas sana, jangan ngambek apalagi nakal, kasian
om pilot, dan teknisi ganteng yang meloloskanmu di bawah sana”, dan percayalah
saya sering mempraktekkan itu.
***
Menyenangkan setelah bisa
menghadapi ketakutan itu adalah saya mulai merajut mimpi baru. Traveling.
Bagaimana jadinya jika saya masih memelihara fobia itu. Saya pasti takkan
pernah bisa kemana-mana, takkan pernah berani bermimpi menjelajah dunia. Namun
tentu saja pengalaman saya mungkin ampuh bagi orang-orang yang memiliki aviophobia ringan.
Untuk yang fobia berat, tetap perlu bantuan professional.
Buku-buku, dan literature yang pernah
saya kumpulkan, saya hibahkan ke pak Budi, sambil saya terus menyemangatinya
seperti seorang psikolog ke pasiennya, dan bahagianya ketika suatu ketika dia
memanggil saya.
“ Sam, besok kita berangkat yuk! Naik
pesawat, jangan tanggung-tanggung. Langsung ke Papua!”
Keberanian beliau disambut tepukan riuh
dari para stafnya, alhasil hari itu saya menemukan orang yang baru, dan saya
menjadi penyaksi satu orang lagi yang berhasil menghadapi ketakutannya.
Seperti yang Farchione pernah
katakan, tidak ada salahnya jika memiliki fobia terbang. Yang lebih penting
adalah bagaimana Anda bereaksi pada situasi menakutkan tersebut dengan cara
yang sehat, and Yes I did it.
Pic from: Pixabay
Tulisan ini dimuat di mojok dengan link berikut https://mojok.co/terminal/perjalanan-melawan-aerophobia-ketakutan-luar-biasa-untuk-naik-pesawat/
Beberapa waktu lalu sempat viral komentar dari akun seorang suami yang menyebut istrinya sendiri sebagai “orang lain kebetulan harus diurus”. Dalam skrinsut yang beredar di media sosial, si suami menulis begini:
“Saya ngasih uang jatah tidak semua gajih saya kasikan, saya tabung buat anak, karna anak darah daging sedang istri adalah orang lain yg kebetulan harus kita urus, intinya jangan terlalu royal, juga jangan terlalu pelit.”
Bisa diduga, pernyataannya tersebut membangunkan para istri yang terlukai hatinya. Segala sumpah serapah dan komen pedas diarahkan pada pernyataan itu.
Di sini saya tidak hendak membahas luka istri yang dianggap sebagai orang lain. Suara sebagian besar netizen sudah mewakili perasaan saya. Apalagi Lambe Turah juga sudah mengedarkan skrinsut itu.
Yang ingin saya katakan lewat tulisan ini: jika mau jujur, ada benarnya bahwa istri memang orang lain bagi suaminya.
Kalau bukan orang lain mana mungkin dinikahi toh? Hehehe. Tapi tentu saja maksudnya bukan begitu. Saya mencoba melihatnya dari sudut pandang lain.
Lima belas tahun lalu, saya hanyalah orang lain yang secara kebetulan dinikahi suami saya. Menikah tanpa pacaran terlebih dahulu pasti lebih banyak duri ketimbang bunga-bunganya. Terlalu banyak impian muluk saya sandarkan kepada lelaki asing ini dan berakhir kekecewaan.
Saya ingin dia bisa menulis puisi buat saya. Saya ingin dia lebih banyak bicara. Saya ingin dia tidak menaruh handuk basahnya sembarangan. Saya ingin dia memencet odol dari bawah bukan dari tengah. Masih banyak ingin-ingin lain yang ternyata kemudian harus saya kompromikan.
Sampai akhirnya saya harus meyakini, saya hanya “orang lain” yang datang belakangan di kehidupannya. Saya bertemu dia ketika dia sudah menjadi manusia. Manusia seperti yang saat itu saya dapati. Saya tidak boleh memaksakan keakuan saya pada dirinya, begitu pun sebaliknya.
Meski secara hukum dan agama kami sepasang suami istri, kami tetap dua manusia berbeda. Memiliki keinginan berbeda, kepribadian berbeda, terbentuk dari lingkungan yang juga berbeda.
Awalnya saya selalu terbuai kata-kata romantis “ketika aku dan kamu menjadi aku”. Dengan segenap ego, saya memaksa dia menjadi sesuai keinginan saya, juga sebaliknya. Hasilnya? Bukan hanya saya yang stress, dia mulai menunjukkan tanda-tanda merasa salah meminang orang.
Tiga tahun pertama pernikahan adalah masa ngotot-ngototan itu. Sayangnya, semakin berusaha, kami malah semakin menjauh. Untungnya dalam tiga tahun pertama itu kami disibukkan mengurus dua anak dan lupa bahwa kami masing-masing menyimpan bara.
Lima tahun berikutnya, bara itu pelan-pelan padam. Kami mulai menerima perbedaan, menerima keakuan dan kelakuan masing-masing. Kami mulai bisa tahu waktu, kapan harus menjadi orang lain (menjadi “aku”), kapan harus menjadi “satu” tim ketika dihadapkan pada urusan rumah tangga.
Mulailah tercipta kata me time. Mulai ada waktu untuk diri sendiri. Ya, karena tak semua waktu bulat-bulat harus didedikasikan untuk keluarga. Ada waktu me-recharge energi dengan melakukan sesuatu yang disukai. Dia dengan hobinya yang tidak ada saya di dalamnya, saya dengan dengan hobi saya yang tidak ada dia di dalamnya. Clear, sekarang kami adalah dua orang asing yang berbeda di waktu-waktu tertentu.
Kemudian, setelah berhasil mengenyangkan sisi keakuan masing-masing, tiba saatnya “kembali” ke rumah. Kedua orang lain ini sama-sama membawa energi positif yang membahagiakan seluruh penghuni rumah. Anak-anak jadi bahagia melihat orang tuanya bahagia. Seketika ingin saya teriakkan kepada suami, “Hei, orang lain! Terima kasih mau kembali ke rumah dan sama-sama membagi kebahagiaannya di sini.”
Kami telah sadar, kami tak punya ikatan darah sehingga ikatan rasalah yang harus dipupuk tiap hari jika ingin memanen bahagia kelak. Itu kata orang-orang bijak. Jangan sampai kami bertahan bersama hanya karena anak-anak. Sebab, ketika anak-anak telah mandiri dan keluar dari rumah, kami akan ditinggalkan berdua lagi, bersama masalah lama yang belum selesai. kembali menjadi orang asing tanpa ikatan rasa.
Dengan menganggap suami sebagai orang lain, saya bisa menghargai keberadaan dia sebagai pribadi yang berbeda dari saya.
Tapi, beda ceritanya kalau pasangan menganggap dirinya sebagai orang lain pas ngurus kerjaan rumah tangga. Awas aja. Kalau kata netizen, bisa kelar idup lu!
#Refleksi untuk 15 tahun usia pernikahan. 110905-110920
#tulisan saya ini pernah dimuat di media online mojok.co.id tanggal 10 September 2020, lingknya : https://mojok.co/terminal/nasihat-pernikahan-istri-memang-orang-lain-bagi-suaminya/