AKSI REAKSI DIAKSI MENGAKSI
Sejak kepergianmu ada
ruang hampa di hatiku, tapi aku tak ingin mengisinya dengan apapun, kecuali
kenangan tentangmu. Ketakutanku adalah kenangan yang kupunya denganmu akan tergerus
oleh waktu. Meski aku amnesia
sekalipun, aku ingin engkau tetap hidup dalam pikiran dan kenangan tentangmu. Karenanya,
biarkan aku menuliskan kisah ini, biarkan terus kuputar kaset kenangan kita,
sampai tiba saatnya aku pun pergi.
Bapakku sayang,
Engkau adalah lelaki
pembelajar yang pergi dalam kesunyian, tiba-tiba pergi tanpa pesan sakit atau apapun
yang bisa kupahami. Engkau yang selalu bangga menyebut dirimu sebagai peneliti
alam semesta. Beberapa kali membantah teori ilmuwan di buku Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Iptek). Bahkan menciptakan satuan ukur baru.
Selain itu, catatanmu
tentang penelitian alam semesta yang masih berupa tulisan tangan atau ketik
manual dengan mesin ketik tuamu, masih tersimpan rapi. Beberapa catatan seperti
rumus atau seperti kode rahasia yang meski sekuat tenaga kucoba memahami
maksudnya. Aku tetap tak bisa mengerti.
Bapakku sayang,
Engkau adalah teman berdiskusi
yang menyenangkan, aku masih ingat tone
suaramu akan meninggi dan bersemangat jika bertemu dengan teman diskusi yang
satu frekuensi denganmu, alih-alih memahamimu, banyak yang memilih menghindari
berdiskusi denganmu karena bahasa dan pemahaman tingkat tinggi yang sulit
dipahami. Namun, aku penikmat setiap perkataanmu, aku bisa betah mendengarkan teorimu,
meskipun berkali-kali aku mendengarkan hal serupa, dari berpuluh tahun aku
menjadi anakmu.
Yah, aku tertempa
menjadi pendengar yang baik dan mencoba memahami ruwetnya lalu lintas pemikiranmu
dan berusaha menemukan benang merahnya dari pengalaman dan ilmu yang aku
dapatkan sendiri, aku fans beratmu, ‘my prof’!
Lalu muncul istilah
ini, “Aksi Reaksi Diaksi Mengaksi”. Bagaimana alam semesta ini saling
bersinggungan, saling bersinergi. Katamu, tidak ada satu pun di dunia ini yang
bergerak tanpa sebab dan akan saling mempengaruhi satu sama lain, ion-ion itu
bergerak menemukan lintasannya. Karena seringnya mengucapkan istilah ini, disetiap
sesi ‘kuliah’ denganmu, kami anak-anakmu menjadi familiar dengan kalimat itu.
Bapakku sayang,
Tadi aku menyebutmu, my
prof tapi dengan tanda kutip, karena engkau memang bukan professor. Engkau
hanya manusia berpendidikan rendah namun memiliki pemikiran brilliant. Daya jangkau pemikiranmu
melebihi kami yang sekolahnya tinggi-tinggi ini. Engkau hanya sempat mengecap
pendidikan SR (sekolah rakyat), namun tak ada satupun dari kami yang mampu
berpikir sepertimu.
Bapakku sayang,
Dulu apapun titahmu,
sebisa mungkin kupenuhi, karena kami anak-anakmu tidak selalu diberi kesempatan
memilih. Karena memang keadaan tidak selalu berpihak kepada kita.
Apalagi terkait pendidikan,
engkau mewajibkan kami jadi anak berprestasi di sekolah. Bagimu tidak ada juara
dua, hanya boleh juara satu. Sebegitu kerasnya engkau mendidik kami, sehingga
kami bertujuh bisa menjadi sesuai keinginanmu. Anehnya, meski selalu membawa
prestasi, tak sekalipun engkau memuji kami (meski belakangan kami tahu dari
cerita orang-orang, betapa bangganya engkau pada kami). Bagimu wajar bagi seorang
pelajar untuk berprestasi, jadi tidak perlu ada selebrasi.
Wisuda demi wisuda,
perayaan demi perayaan tak satupun engkau hadiri. Akhirnya aku pun tahu, engkau
tak pernah butuh panggung, engkau selalu berdiri di belakang kami menjadi
penopang dan perisai kami, pendorong bagi cita-cita kami. Terutama menjadi penyandang dana yang tidak
sedikit bagi kami bertujuh.
Bapakku sayang,
Begitu kerasnya engkau
mendidik kami, sehingga kami pun berjarak denganmu, tak ada hubungan emosional
yang drama denganmu, kami semua takut padamu, tapi tidak di akhir-akhir
hidupmu. Engkau kerap tiba-tiba datang memelukku, mengusap-usap punggungku,
merapal doa dan harapan untukku. Engkau berubah menjadi sentimentil di hari
tuamu, mungkin juga karena kita berada di kota berbeda. Aku sungguh merindui
saat-saat aku pulang ke pelukanmu.
Maafkan kami anak-anakmu
karena meninggalkanmu sendiri ketika kami semua pergi meninggalkanmu untuk
membangun istana baru, menjadikanmu raja yang kehilangan rakyatnya. Sekuat
apapun kami memintamu ikut bersama kami, engkau memilih menikmati masa-masa
tuamu dalam kesendirian. Lebih
menyedihkan lagi, saat kami memiliki kartu keluarga masing-masing dan hanya
tertinggal namamu di kartu keluarga lama kita, pada akhirnya namamu
satu-satunya yang tersisa di sana.
Bapakku sayang,
Terima kasihku untuk
kebijaksanaanmu, untuk pikiranmu yang luar biasa, meski hidup di desa dengan
budaya patriarki, namun tidak berlaku untukmu. Bagimu, perempuan harus memiliki
kesempatan yang sama dengan laki-laki. Anak-anak harus bersekolah setinggi-tingginya,
meski hidup kita pas-pasan. Terima kasih tidak tergiur mahar tinggi maupun uang panaik lalu menikahkan anak-anak
perempuanmu di usia dini. Tidak seperti orang tua pada umumnya waktu itu.
Mereka menghentikan cita-cita anaknya
karena menikahkan mereka selagi dini dengan iming-iming uang panaik tinggi karena hal tersebut juga melambungkan strata social
di mata masyarakat.
Ah, apa jadinya aku, jika
engkau seperti mereka, aku tak mungkin bisa memeluk cita-citaku.
Terima kasih, pak.
Meski hidup kita sempit, meski tanganmu melepuh mengais rupiah, engkau tak bergeming
meski anakmu dipinang dengan banyak rupiah.
Bapakku sayang,
24 Maret 2019 adalah
akhir hidupmu di dunia dan awal bagi keabadianmu di sana. Hubungan duniawi kita
sudah putus dan berakhir, namun kenangan tentangmu baru saja dimulai. Wahai
cinta pertamaku, aku bangga menyandang namamu di namaku. Aku samsurya anugrahmu, akan selalu bangga
pada lelaki sederhana sepertimu. Walau berbeda alam, aku tetap bisa mengirimkan
cinta melalui frekuensi doa yang kulangitkan untukmu, semoga menemui lintasannya
dan doaku sampai padamu.
Kita sudah berbeda
alam, tapi engkau selalu menyiapkan aku untuk itu, aku ingat kata-katamu untuk
jangan terlalu bereaksi berlebihan jika tiba saatnya engkau pergi.
“Saya
hanya akan berpindah frekwensi, berada dalam dimensi yang berbeda. Memulai
lintasan yang baru.
Berpindah frekwensi akan dilalui dengan ledakan energi yang besar. Menyisakan
fraksi-fraksi yang akan menyakitkan tapi itu wajar. Itu proses alam ketika kita
berada dalam lingkaran energi, Aksi Reaksi Diaksi Mengaksi.” (Miskad)
Aku
memahami, sedih itu perlu tapi secukupnya saja. Engkau telah pergi dan aku
ikhlas bersama doaku.
Tulisan ini dimuat di buku antologi "Surat Berharga" jilid 2, dalam event penulisan Nulis Yuk Batch 71, penerbit Motivaksi Inspira
Comments
Post a Comment