Cerpen : Ketika Semesta Mendukung Cinta
Senja berarak meninggalkan peraduannya. Cahaya
matahari yang redup di ufuk barat
membiaskan warna abstrak yang indah. Lukisan sang Maha yang selalu berbeda di
sore menjelang malam, meski aku selalu berdiri pada titik yang sama tapi senja
selalu memberikan warna yang tak pernah sama. Riak-riak air yang ditempa sinar
keperakan, lama-lama menggelap. Adzan magrib baru saja lepas dikumandangkan.
Langkah-langkah kaki kecil diseret menuju surau, dan gelak tawa anak-anak,
menenangkan hati ini. Tak menyangka ragaku kembali ke tempat dimana aku
bermula.
Kepalaku mendongak ke angkasa, kawanan burung tampak bergerak
bersama membentuk siluet, menambah cantiknya senja hari ini. Kupejamkan mata
dan perlahan-lahan memasukkan udara sebanyak-banyaknya dalam paru-paruku. Wangi
laut, aroma senja, dan rindu. Harmoni yang tak pernah ada duanya.
Aku pernah mengatakan ini padamu, aku memiliki senja
terindah di belakang rumahku. Senja adalah cerita yang tak pernah tuntas kuceritakan
kepadamu, aku tak pernah bosan. Apalagi jika kupandang mata sipitmu membola
mendengar ceritaku. Kamu awalnya tidak percaya, mana mungkin aku punya senja di
belakang rumah. Apa aku tinggal di sebuah villa dengan pantai private? Aku
pasti tergelak. Aku bukan sultan, ingat itu! Tawa kita pun melebur.
Semakin kutatap senja, semakin kumerindu padamu. Aku
selalu berpesan padamu, carilah senja jika kau mulai merindukan aku. Percaya
bahwa di belahan bumi yang lain aku pun mengarahkan pandang yang sama. Berharap
dapat beradu rindu denganmu. Kita percaya pada ikatan rasa, ketika kita berada
dalam satu frekuensi, rindu kita akan saling menyapa. Ketika kamu merindu, aku
pasti merindu. Seperti relief, rasa itu terpatri kuat. Sekuat aku meyakininya.
Namamu Kim Dae Hyun, pemuda berkulit kuning yang aku kenal tanpa
sengaja. Wajahmu tampan seperti wajah para boy
band yang tidak kusukai namun digandrungi teman-temanku. Aku bukan pecinta
drama korea, aku tidak mengenali nama-nama para pesohornya, meski riuh sekelilingku
membicarakan, betapa serunya nonton drakor, betapa tampan aktornya. Aku
bergeming. Kalian terlalu cantik untuk menjadi pria seperti versi yang kusukai
dari kaummu.
Kita bertemu di Bali, tepatnya di Nusa Dua. Waktu itu
selepas subuh. Kita bertemu di traking jogging hotel yang kita tempati
menginap. Aku ke Bali karena urusan pekerjaan dan kamu ke Bali karena ingin
berlibur. Disitu tidak ada sunset, tapi sunrisenya sungguh indah. Kita hanya
berdua menikmati langit yang tadinya gelap, pelan-pelan menjadi jingga. Lalu
ada semburat warna ungu dan segaris halimun yang melintas, awan kecil yang
berarak membiaskan warna-warna abstrak.
“Wow…” kamu berdecak kagum, dan menoleh ke arahku yang
terdiam mematung menikmati keajaiban alam di hadapanku kini. Seolah-olah ingin
mencari pembenaran. Akupun menoleh sekilas dan memberikan senyum, sambil
mengangguk perlahan. Sejujurnya aku merasa terganggu. Menurutku ini peritiwa
magis yang menjengkelkan jika disela. Aku sudah terbang ke nirwana bersama
tujuh bidadari namun tersadari dengan adanya manusia bumi yang tiba-tiba bersuara,
membangunkanku dari khayalan.
“Beautiful, isn’t!” sapamu, beramah tamah. Ingin
kutunjukkan perasaan tidak suka diganggu. Tapi aku ingat, aku gak mungkin
menunjukkan ketidaksopanan pada pendatang seperti dirimu. Bisa-bisa kamu pulang
ke negaramu dan mengklaim semua wanita Indonesia sejudes aku. Karena jelas dari
penampakan fisik, kamu bukan orang Indonesia.
“Kim Dae Hyun.” Dia mengulurkan tangan.
“Zigi.” Kusambut uluran tangganya sambil tersenyum.
Meski berkulit kuning, kamu fasih berbahasa Indonesia.
Kamu kelahiran kota Bandung. Menghabiskan masa kecil hingga remajamu di sana, mengikuti
orang tuamu yang bekerja di perusahaan Korea di Bandung. Walaupun sekarang
kalian sudah menetap di Seoul. Tapi Indonesia adalah tanah air keduamu. Kamu
lebih suka makan batagor ketimbang ttebbokki, lebih suka minum bajigur dari
pada soju. Kalau yang terakhir, lebih ke pilihan hidup sebenarnya seperti
kemantapan hatimu menjadi mualaf, dan menjadi penggiat remaja masjid Seoul di
Itaewon. Kamu bilang, kamu takut aku mencari imam yang lain, padahal aku tahu
kamu mualaf jauh sebelum kamu mengenal aku.
Keuntungan bagiku, aku tak perlu sibuk memikirkan
kalimat apa yang harus aku ucapkan untuk berbicara padamu. Bahasa Inggrisku tak
sebaik bahasa ibuku. Jangan tanya kemampuan bahasa Koreaku, aku cuma tahu
Saranghae, itu pun karena kamu kerap mengatakan itu sambil menautkan ibu jari
dan telunjukmu ke arahku, kalau begitu aku hanya bisa tersipu malu. Kemudian
dengan iseng kamu menjawil hidungku, bagian dari wajahku yang paling kamu suka
setelah mataku. Katamu, mataku adalah mata paling indah nomor satu di dunia,
nomor duanya Aishwarya Rai. Hahaha kamu memang paling bisa membuat hatiku melambung.
Karena kamu bukan tipe lelaki yang masuk dalam list “lelaki yang membuatku menoleh dua kali ke
arahnya pada pandangan pertama”. Aku tak mudah membuka hatiku padamu, aku
hanya membuka hatiku sebagai teman bagimu. Kemudian kuberi garis polisi, kamu
tak boleh masuk lebih dalam lagi, memasuki palung hatiku dan seenaknya mengukir
reliefmu di sana, tak akan kuijinkan.
Namun, kenapa kemudian kamu begitu sempurna untuk
kuabaikan? Sekuat hati aku menolakmu, namun perasaanku sendiri mengkhianatiku.
Seluruhku, semestaku, bergerak menujumu. Sungguh aku tak berkutik, perasaanku menciptakan sayapnya sendiri dan
terbang menujumu. Aku tak berdaya.
Aku tidak suka mata sipitmu yang tinggal segaris jika
kau tertawa. Tapi di dalamnya aku menemukan ketulusan dan danau yang ingin kuselami
lebih jauh lagi.
Chagiya, aku rindu…
***
“Udah magrib. Nggak bagus anak gadis masih di luar
rumah jam segini.“ Suara yang begitu kukenali mengusik lamunanku, matanya
mengisyaratkan mengajakku pulang ke rumah.
Aku mengangguk dan bergerak mengikuti langkahnya. Dia,
ibuku. Aku selalu sedih melihatnya menua, dan aku terlambat menyadarinya. Sejatinya,
aku tidak ingin membuatnya sedih. Tapi kini, membuatnya tidak bersedih akan
membuatku bersedih. Ibuku, belum bisa menerima Daehyun sebagai lelaki yang bisa
kubawa ke hadapannya.
Sudah sebulan aku mencoba intens meyakinkan beliau,
aku sengaja mengambil cuti untuk bisa mengambil hatinya. Sejak Daehyun terus
mendesak untuk dikenalkan pada ibuku, orang tua satu-satunya yang kumiliki saat
ini. Namun masih belum menemukan titik terang. Bagi ibuku, Daehyun tetap orang
asing yang akan sulit melebur pada keluarga dan ketakutannya akan membawa aku
pergi jauh meninggalkannya. Sebagai putri satu-satunya, berat baginya
melepaskan aku yang bisa saja diabaikan di negeri seberang.
Kim Dae Hyun adalah cinta pertamaku, aku belum tahu
bagaimana rasanya dicintai laki-laki selain Daehyun. Aku tak pernah bisa dan
sanggup membayangkan. Bagiku cukup Daehyun saja, aku sudah bahagia. Tapi bagi
ibuku, Daehyun bukanlah sumber kebahagiaanku. Aku sudah dibutakan oleh pesona
drama korea yang sejujurnya tak pernah aku minati. Buat apa aku tergila-gila
sama cerita romansanya. Aku sudah memiliki oppa yang lebih nyata dari pada
kehaluan para bucin oppa-oppa drakor itu.
Kami berjalan dalam diam, hal terburuk selama hidupku
adalah hubungan kami tidak lagi serenyah dulu sejak kehadiran Daehyun dalam
kehidupanku. Ibuku tidak menyukai Daehyun. Aku hampir putus asa memperjuangkan
hubungan kami. Namun Daehyun selalu sabar menyemangatiku.
Tujuh bulan sejak pandemi aku hanya bisa memendam
rindu. Aku sudah lupa bagaimana rasanya tersenyum. Ada mendung yang selalu
bergelayut di wajahku. Hanya Daehyun yang bisa menghiburku melalui video call.
Memintaku mengencangkan doa, mengirimkan doa-doa yang bisa melunakkan hati ibu.
Ingin rasanya aku terbang dan hanyut di dalam peluknya. Rindu dan takut
kehilangan dia adalah rasa yang mengguncang pertahananku yang kerap jebol
menganak sungai di wajahku.
Berbeda jauh dengannya, aku mengenal baik keluarganya.
Beberapa kali ke Seoul, aku menginap dan
melebur di keluarga mereka. Keluarga Korea yang sangat Indonesia. Ibunya
pintar mengolah masakan Indonesia. Bahkan menggabungkan keduanya. Salah satu
masakan kesukaanku, adalah batagor saus gochukang. Kim Ara, adik perempuannya
yang ceriwis, sedang semangat-semangatnya membangun chanel youtube berbahasa
Indonesianya. Dia selalu menanyakan konten apa yang layak ditayangkan di youtube-nya.
Penerimaan keluarga Daehyun sangat berbeda jauh dengan
penerimaan ibu, saat aku mencoba mengenalkan
Daehyun melalui cerita. Beliau menunjukkan ketaksukaannya. Karenanya, aku belum
pernah mengijinkannya bertemu ibuku. Aku takut dia patah hati.
Bagaimana mungkin aku melukai hati perempuan yang
sudah 27 tahun merawat dan membesarkanku sendirian? Sementara ayahku, aku tidak
pernah mengenalnya. Sejak kecil, dia sudah meninggalkan aku dan ibuku kembali
ke negaranya. Dia hanya meninggalkan jejak blasteran Eropa di wajahku, dan tubuhku
yang tinggi semampai. Ibu tidak menginginkan kehidupan buruknya terulang padaku.
Ah, aku tidak melihat sedikit pun niat jahat Daehyun padaku. Dia menjagaku
seperti permata. Namun bagaimana aku meyakinkan perempuan yang paling aku
hormati sejagad raya ini.
“Chagiya…”
suaraku tercekat. Sosok yang begitu kukenali berdiri di beranda rumahku,
menyambut kedatanganku bersama ibu. Rinduku tertahan, tertutupi oleh sesak dan
air mata yang keluar, ingin ke
menghambur dipeluknya. Tapi tertahan, aku menghargai perempuan yang berdiri
disampingku.
“Dia menunggumu dari tadi. Dia datang melamarmu, dia
sudah bercerita banyak. Jangan diam disitu,
sambut calon suamimu.”
Mataku terbelalak aku tak mampu lagi mencerna rasa
yang berkecamuk, tubuhku menuntunku bergerak menghambur ke pelukannya. Kami
menangis dalam rindu. Airmata ibuku berlinang menyaksikan cinta yang besar di
hadapannya.
Dalam sujud panjang, tak henti kuucapkan syukur. Kucium
tangan calon imamku yang mengimami kami sholat magrib. Lalu sungkem di kaki
ibu. Memohon restunya. Bertiga kami
berpelukan dalam isak yang panjang.
***
Entah bagaimana semesta ini bergerak, bagaimana
doa-doa dilangitkan dan menggerakkan hati ibu untuk menerima hubungn kami. Pada
pertemuan pertama mereka, ibu sudah jatuh hati pada Daehyun. Pertemuan yang
selalu aku cegah, karena aku takut
Daehyun terluka. Namun kemampuannya meyakinkan ibu adalah satu hal yang luput
dariku. Aku sedang memetik buah sabarku yang selama ini menghadapi ibu dalam
diam dan doa. Tidak pernah aku frontal
seperti yang selalu Daehyun katakan padaku. Kelak semesta pasti berpihak pada
kita. Seyakin itu dia meyakinkanku. Kini
kami diujung penantian dan doa. Menyemai buah kesabaran cinta kami.
*Chagiya: panggilan
sayang (Bahasa Korea)
Comments
Post a Comment